Oleh: Iwan Yanuar
“Maaf Akhi, bukannya saya tidak menghormati permintaan akhi. Tapi rasanya kita
cukup menjalin ukhuwah saja dalam perjuangan. Saya doakan semoga akhi menemukan
pasangan lain yang lebih baik dari saya.”
Amboi, bagaimana rasanya bila kalimat di atas dialami oleh para ikhwan? Bisa
saja langit terasa runtuh, hati berkeping-keping. Sang pujaan hati yang kita
harapkan menjadi teman setia dalam mengarungi perjalanan hidup menampik khitbah
kita. Segala asa yang pernah coba ditambatkan akhirnya karam. Cinta suci sang
ikhwan bertepuk sebelah tangan.
Ya drama kehidupan menuju maghligai pelaminan memang beragam. Ada yang
menjalaninya dengan smooth, amat mulus, tapi ada yang berliku penuh onak duri,
bahkan ada yang pupus di tengah perjalanan karena cintanya tak bertaut dalam
maghligai pernikahan.
Ini bukan saja dialami oleh para ikhwan, kaum akhwat pun biasa mengalaminya.
Bedanya, para ikhwan mengalami secara langsung karena posisi mereka sebagai
subyek/pelaku aktif dalam proses melamar. Sehingga getirnya kegagalan cinta
–seandainya memang terasa getir- langsung terasa. Sedangkan kaum akhwat perasaanya
lebih aman tersembunyi karena mereka umumnya berposisi pasif, menunggu
pinangan. Tapi manakala sang ikhwan yang didamba memilih berlabuh dihati yang
lain kekecewaan juga merebak dihati mereka.
Mengambil sikap
Ikhwan
dan akhwat rahimakumullah, siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan
cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul
baqa' (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia. Dengannya,
manusia adalah manusia bukan onggokan daging dan tulang belulang. Ia juga bukan
robot yang bergerak tanpa perasaan, tapi manusia memiliki aneka emosi jiwa. Ia
bisa bergembira tapi juga bisa kecewa.
Emosi negatif, seperti perasaan kecewa akibat tertolak, bukannya tanpa hikmah.
Kesedihan akan memperhalus perasaan manusia, bahkan akan meningkatkan
kepekaannya pada sesama. Bila dikelola dengan baik maka akan semakin matanglah
emosi yang terbentuk. Tidak meledak-ledak lalu lenyap seketika. Ia akan siap
untuk kesempatan berikutnya; kecewa ataupun bergembira. Jadi mengapa tidak
bersyukur manakala kita ternyata bisa kecewa? Karena berarti kita adalah manusia
seutuhnya.
Kegagalan meraih cinta juga bukan pertanda bencana. Tapi akan memberikan
pelajaran berharga pada manusia. Seorang filsuf bernama John Charles Salak
mengatakan : Orang-orang yang gagal dibagi menjadi dua; yaitu mereka yang
berfikir gagal padahal tidak pernah melakukannya, dan mereka yang melakukan
kegagalan dan tak perah memikirkannya.
Karenanya kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru awal dari segala-galanya.
Meski terdengar klise tapi ada benarnya; ambillah pelajaran dari sebuah
kegagalan lalu buatlah perbaikan diri. Tentu saja itu dengan tetap mengimani
qadla Allah SWT.
Agar kegagalan mengkhitbah tidak menjadi petaka, maka ikhwan dan akhwat, persiapkanlah
diri sebaik-baiknya, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
Percayai qadla
Manusia tidak suka dengan penolakan. Ia ingin semua keinginannya selalu
terpenuhi. Padahal ditolak adalah salah satu bagian dari kehidupan kita. Kata
seorang kawan, hidup itu adakalanya tidak bisa memilih. Perkataan itu benar
adanya, cobalah kita renungkan, kita lahir kedunia ini tanpa ada pilihan;
terlahir sebagai seorang pria atau wanita, berkulit coklat atau putih, berbeda
suku bangsa, dsb. Demikian pula rezeki dan jodoh adalah hal yang berada di luar
pilihan kita. Man propose, god dispose. Kita hanya bisa menduga dan berikhtiar,
tapi Allah jua yang menentukan.
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam
rahim ibunya selama 40 hari kemudian menjadi ‘alaqah kemudian menjadi janin,
lalu Allah mengutus malaikat dan diperintahkannya dengan empat kata dan
dikatakan padanya: ‘tulislah amalnya, rizkinya dan ajalnya.” (HR.Bukhari)
Maka kokohkanlah keimanan saat momen itu terjadi pada kita. Yakinilah skenario
Allah tengah berlangsung, dan jadilah penyimak yang baik dengan penuh sangka
yang baik padaNya. Tanamkan dalam diri kita ‘Allah Mahatahu yang terbaik bagi
hamba-hambaNya'.
Jangan biarkan kekecewaan menggerogoti keimanan kita kepadaNya. Apalagi dengan
terus menanamkan prasangka buruk padaNya. Segerahlah sadar bahwa ini adalah
ujian dari Allah . akankah kita menerima qadla-Nya atau merutuknya?
Dengan demikian, fragmen yang pahit dalam kehidupan InsyaAllah akan memperkuat
keyakinan kita bahwa Allah sayang pada kita. Demikian sayangnya, sampai-sampai
Allah tidak rela menjodohkan kita dengan si fulan yang kita sangka sebagai
pelabuhan cinta kita.
Bersiap untuk cinta dan bahagia
“Seandainya ukhti menjadi istri saya, saya berjanji akan membahagiakan ukhti,”
demikian ungkapan keinginan para ikhwan terhadap akhwat yang akan mereka lamar.
Puluhan, mungkin ratusan angan-angan kita siapkan seandainya si dia menerima
pinangan cinta kita. Kita begitu siap untuk berbahagia dan membahagiakan orang
lain. Sama seperti banyak orang yang ingin menjadi kaya, tenar dan dipuja
banyak orang.
Sayang, banyak diantara kita yang belum siap untuk merasa kecewa. Dan ketika
impian itu berakhir kita seperti terhempas. Tidak percaya bahwa itu bisa
terjadi, ada akhwat yang ‘berani' menolak pinangan kita. Bila kurang waras,
mungkin akan keluar ucapan, “berani-beraninya...” atau “apa yang kurang dari
saya.....”
Akhi dan ukhti, jangan biarkan angan-angan membuai kita dan membuat diri
menjadi tulul amal, panjang angan-angan. Sadarilah semakin tinggi angan membuai
kita, semakin sakit manakala tak tergapai dan terjatuh. Ambillah sikap simbang
setiap saat; bersiap diri menjadi senang sekaligus kecewa. Sikap itu akan
menjadi bufferl penyangga mental kita, apapun yang terjadi kelak.
Manakala kenyataan pahit yang ada di depan mata, sang akhwat menolak khitbah
kita atau sang ikhwan memilih ‘bunga' yang lain, hati ini tidak akan tercabik.
Yang akan datang adalah keikhlasan dan sikap lapang dada. Demikian pula saat ia
menjatuhkan pilihannya pada kita, hati ini akan bersyukur padaNya karena doa
terkabul, keinginan menjadi kenyataan.
” Menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya urusannya seluruhnya baik
dan tidaklah hal itu dimiliki oleh seseorang kecuali bagi seorang mukmin. Jika
mendapat nikmat ia bersyukur maka hal itu baik baginya, dan jika menderita
kesusahan ia bersabar maka hal itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)
Bukan Aib
Ditolak? Emang enak! Wah, mungkin demikian pikiran sebagian ikhwan. Malu, kesal
dan kecewa menjadi satu. Tapi itulah bentuk ‘perjuangan' menuju pernikahan.
Kita tidak akan pernah tahu apakah sang pujaan menerima atau menolak kita,
kecuali setelah mengajukan pinangan padanya. Manakala ditolak tidak usah malu,
bukan cuma kita yang pernah ditolak, banyak ikhwan yang ‘senasib' dan
‘sependeritaan'.
Saatnya berjiwa besar ketika ditolak. Tidak perlu merasa terhina. Demikian pula
saat banyak orang tahu hal itu. Bukankah apa yang kita lakukan adalah sesuatu
yang benar? Mengapa mesti malu.
‘Kita mungkin takkan Bahagia'
Marah-marah karena lamaran tertolak? Mendoakan keburukan pada ikhwan yang tidak
mencintai kita? Itu bukan sikap seorang muslim/muslimah yang baik. Tidak ada
yang bisa melarang seseorang untuk jatuh cinta maupun menolak cinta.
Sebagaimana kita punya hak untuk mencintai dan melamar orang, maka ada pula hak
yang diberikan agama pada orang lain untuk menolak pinangan kita. Bahkan dalam
kehidupan rumah tangga pun seorang suami dan istri diberikan hak oleh Allah
SWT. Untuk membatalkan sebuah ikatan pernikahan.
Mengapa ada hak penolakan cinta yang diberikan Allah pada kita? Bahkan dalam
pernikahan ada pintu keluar ‘perceraian'? jawabannya adalah sangat mungkin
manusia yang jatuh cinta atau setelah membangun rumah tangga, ternyata tak
kunjung memperoleh kebahagiaan ( al hanaah ) dari pasangannya, maka tiada guna
mempertahankan sebuah bahtera rumah tangga bila kebahagiaan dan ketentraman tak
dapat diraih. Wallahu'alam bi ash shawab
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” ( Al-Baqarah[2]:229 )
Berpikir positiflah manakala cinta tak berbalas. Belum tentu kita memperoleh
kebahagiaan bila hidup bersamanya. Apa yang kita pandang baik secara kasat
mata, belum tentu berbuah kebaikan di kemudian hari.
Adakalanya keinginan untuk hidup bersama orang yang kita idamkan begitu
menggoda. Tapi bila ternyata cinta kita bertepuk sebelah tangan, untuk apa
semua kita pikirkan lagi? Allah Maha Pangatur, ia pasti akan mempertemukan kita
dengan orang yang memberikan kebahagiaan seperti yang kita angankan. Bahkan
mungkin lebih dari yang kita harapkan.
Be positive thinking, suatu hari kelak ketika antum telah menikah dengan orang
lain –bukan dengan si dia yang antum idamkan- niscaya antum takjub dengan
kebahagiaan yang antum rasakan. Percayalah banyak orang yang telah merasakan
hal demikian.
‘Saya tak mungkin berbahagia tanpanya'
ini adalah perangkap, ia akan memenjarakan kita terus menerus dalam kekecewaan.
Perasaan ini juga menghambat kita untuk mendapatkan kesempatan berbahagia
dengan orang lain. Mereka yang terus menerus mengingat orang yang pernah
menolaknya, dan masih terbius dengan angan-angannya sebenarnya tengah menyiksa
perasaan mereka sendiri dan menutup peluang untuk bahagia.
Mari berpikir jernih, untuk apa memikirkan orang lain yang sudah menjalani
kehidupannya sendiri? Jangan biarkan orang lain membatalkan kebahagiaan kita.
Diri kitalah yang bisa menciptakannya sendiri. Untuk itu tanamkan optimisme dan
keyakinan terhadap qadla Allah SWT. Insya Allah, akan ada orang yang
membahagiakan kita kelak.
Cinta membutuhkan waktu
“maukah ukhti menjadi istri saya? Saya tunggu jawaban ukhti dalam waktu 1 X 24
jam!” Masya Allah, cinta bukanlah martabak telor yang bisa di tunggu waktu
matangnya. Ia berproses, apalagi berbicara rumah tangga, pastinya banyak
pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan. Ada unsur keluarga yang harus
berperan. Selain juga ada pilihan-pilihan yang mungkin bisa diambil.
Jadi harap dipahami bila kesempatan datangnya cinta itu menunggu waktu. Seorang
akhwat yang akan dilamar –contoh extrim pada kasus diatas- bisa jadi tidak
serta merta menjawab. Biarkanlah ia berpikir dengan jernih sampai akhirnya ia
melahirkan keputusan. Jadi cara berpikir seperti di atas sebenarnya lebih cocok
dimiliki anggota tim SWAT ketimbang orang yang berkhitbah.
Ideal bagus, Tapi realistik adalah sempurna
“Suami yang saya dambakan adalah yang bertanggungjawab pada keluarga, giat
berdakwah dan rajin beribadah, cerdas serta pengertian, penyayang, humoris,
mapan dan juga tampan.” Itu mungkin suami dambaan Anda duhai Ukhti . tapi
jangan marah bila saya katakan bahwa seandainya kriteria itu adalah harga mati
yang tak tertawar, maka yang ukhti butuhkan bukanlah seorang ikhwan melainkan
kitab-kitab pembinaan. Kenyataannya tidak ada satupun lelaki didunia ini yang
bisa memenuhi semua keinginan kita. Ada yang mapan tapi kurang rupawan, ada
yang rajin beribadah tapi kurang mapan, ada yang giat dakwah dakwah tapi selalu
merasa benar sendiri, dsb.
Ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki kriteria bagi calon suami/istri
kita, lantas membuat kita mengubah prinsip menjadi ‘yang penting akhwat” atau
“yang penting ikhwan”. Tapi realistislah, setiap menusia punya kekurangan –
sekaligus kelebihan. Mereka yang menikah adalah orang-orang yang berani
menerima kekurangan pasangannya, bukan orang-orang yang sempurna. Tapi berpikir
realistis terhadap orang yang akan melamar kita, atau yang akan kita lamar,
adalah kesempurnaan
Maka doa kita kepada Allah bukanlah,”berikanlah padaku pasangan yang sempurna”
tetapi “ya Allah, karuniakanlah padaku pasangan yang baik bagi agamaku dan
duniaku.”
Kekuatan Ruhiyah
Percaya diri itu harus, tapi overselfconfidence adalah kesalahan. Jangan
terlalu percaya diri akhi bahwa lamaran antum diterima. Jangan juga terlalu
yakin ukhti, bahwa sang pujaan akan datang ke rumah anti. Perjodohan adalah
perkara gaib. Tanpa ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan
berjodoh. Cinta dan berjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik.
Bukan karena ukhti cantik maka para ikhwan menyukai ukhti. Juga bukan karena
akhi seorang hamalatud da'wah lalu setiap akhwat mendambakannya.
Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan orang lain menurut persepsi kita. Bukankah
sering kita melihat seseorang yang menurut kita “luar biasa” berjodoh dengan
yang ‘biasa-biasa'. Seperti seringnya kita melihat pasangan yang ganteng dan
cantik, populer tapi kemudian berpisah. Inilah rahasia cinta dan perjodohan,
tidak bisa terukur dengan ukuran-ukuran manusia
Maka landasilah rasa percaya diri kita dengan sikap tawakal kepada Allah. Kita
berserah diri kepadaNya akan keputusan yang ia berikan. Jauhilah sikap takkabur
dan sombong. Karena itu semua hanya akan membuat diri kita rendah dihadapan
Allah dan orang lain. Intinya saya bermaksud mengatakan ‘jangan ke-ge-er-an'
dengan segala title dan atribut yang melekat pada diri kita.
Beri cinta kesempata (lagi)
“..........dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” ( QS. Yusuf[12]:87
)
bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan hati wajar adanya. Tapi
bukan alasan untuk menyurutkan langkah berumah tangga. Dunia ini luas, demikian
pula dengan orang-orang yang mencintai kita. Kegagalan cinta bukan berarti kita
tidak berhak bahagia atau tidak bisa meraih kebahagiaan. Bila hari ini Allah
belum mempertemukan kita dengan orang yang kita cintai, insyaAllah ia akan
datang esok atau lusa, atau kapanpun ia menghendaki, itu adalah bagian dari
kekuasaanNya
cinta juga berproses. Ia membutuhkan waktu. Ia bisa datang dengan cepat tak
terduga atau mungkin tidak seperti yang kita harapkan. Ada orang yang dengan
cepat berumah tangga, tapi ada pula yang merasakan segalanya berjalan lambat, namun
tidak pernah ada kata terlambat untuk merasakan kebahagiaan dalam pernikahan.
Beri kesempatan diri kita untuk kembali merasakan kehangatan cinta. ‘ love is
knocking outside the door.' Kata musisi Tesla dalam senandung love will find a
way. Tidak pernah ada kata menyerah untuk meraih kebahagiaan dalam naungan
ridhoNya. Yang pokok, ikhwan atau akhwat yang kelak akan menjadi pasangan kita
adalah mereka yang dirihoi agamanya.
“jika melamar kepada kalian seseorang yang kalian ridho agamanya dan akhlaknya maka
nikahkanlah ia, bila kalian tidak melakukannya maka akan ada fitnah di muka
bumi dan kerusakan yang nyata” (HR. Turmudzi)
“ Wanita dinikahi karena satu dari tiga hal; dinikahi karena hartanya, dinikahi
karena kecantikannya, dinikahi karena agamanya. Maka pilihlah yang memiliki
agama dan akhlak (mulia) niscaya selamat dirimu.” (HR.Ahmad) http://www.dudung.net/ dan www.bringislam.web.id